Minggu, 25 Mei 2008

epistemologi sekuler

Sekularisme dalam Epistemologi Islam
Menakar Akar Historis Sekularisme dalam Paradigma Integralitik
Muh. Rusydi Arif, MA

Pedoman hidup yang digariskan Allah merupakan karunia terbesar bagi umat islam khususnya dan manusia pada umumnya. Eksperimen-eksperimen barat yang menafikan petunjuk Ilahi pada akhirnya hanya merupakan sebuah perjalanan yang tidak menemui ujung pangkal.


Kenyataan ini membuat manusia menyadari kepongahannya. Maka islamisasi peradaban -yang meletakkan manusia sesuai dengan fitrahnya- kemudian menjadi alternatif yang terelakkan. Kebangkitan eropa (renaisance) modern yang identik dengan kejatuhan kaum gereja, yang berakibat kepada pelemparan agama secara keseluruhan dari dunia barat, God is dead, begitulah istilah mereka. Paham-paham yang lahir kemudian mengambil manusia sebagai sentrum aktifitas yang terlepas dari unsur Ilahiyah. Maka lahirlah Mustalahat-mustalahat barat yang sangat bombastis, semacam Sekularisme, Marxisme, Sosialisme, Liberalisme, Eksistensialisme, Modernisme, Post-modernisme dan lain-lain yang sangat worldly oriented.

Namun pada perkembangan selanjutnya, wacana-wacana yang lahir di dunia barat, kemudian menjadi sebuah “ideologi” yang menarik dan paling mengundang perhatian orang banyak adalah paham sekularisme. Ia dimaknai sebagai momok yang sangat menakutkan, meresahkan sekaligus mengundang daya tarik untuk dicermati. Ia dianggap momok karena hampir semua ruang kehidupan umat muslim mulai dari kegiatan ubudiyah sampai yang berkaitan dengan amaliah (hubungan antar manusia-negara) terjangkiti dengan ide-ide sekuler ini. Selanjutnya Ia dianggap mengundang daya tarik karena semakin hari tanpa tidak sadar, konsep-konsep yang diusung para kaum sekuler dengan tanpa batas menyentuh dan merayap ke semua negara. Dan hampir sebagian besar negara muslim -kalau tidak dikatakan- terkena wabah sekularisme.

Sebagaimana yang diilustrasikan Bernard Lewis dalam bukunya “What went wrong: Approaches to the modern history of the middle east” bahwa beberapa negara muslim mengikuti model sekuler negara barat dalam rangka memecahkan permasalahan-permasalahan yang sulit. Meskipun demikian, oleh Mohammed Elhachmi hamdi dengan tegas mengatakan bahwa “terlalu dini kiranya jika mengatakan bahwa hegemoni kultural barat telah memenangkan pertempuran dan kaum muslim dapat disekulerkan dengan begitu mudah”. hal senada namun dalam kesempatan yang berbeda diungkapkan oleh Ernest Gellner bahwa “islam tidak tersekulerkan”.

dalam sejarahnya, sekularisme lahir sebagai reaksi atas berkuasanya kaum gereja atas negara. Kristen yang merupakan risalah ruhaniah dan ritual Ilahiyah mempunyai prinsip “Berikan hak kaisar kepada kaisar dan hak Tuhan kepada Tuhan”. Meskipun pada perjalanan selanjutnya, pada masa kegelapan di eropa, kaum gereja menguasai negara meski tidak secara langsung, namun berimplikasi pada terjadinya penyelewengan-penyelewengan yang berakibat pada kemunculan revolusi yang mengubur habis-habisan fungsi agama dan mengembalikan fungsi kristen ke gereja. Masa gelap kekuasaan kaum teokrat gereja ini, agaknya menjadi trauma kaum barat dan selalu menganggap agama sebagai sentral masalah.

Islam sebagai salah satu agama terbesar di dunia, sesungguhnya memiliki dokumentasi yang layak dibanggakan terhadap kemajuan peradaban manusia dengan ajaran-ajarannya yang universal dan komprehensif. Tetapi pada perjalanannya, agama islam khususnya dan agama lain pada umunya mengalami pelbagai perubahan dan perkembangan. dalam hal ini pemahaman dan interpretasi, sebagian kalangan islam menginterpretasikan islam dengan pola fikir fundamentalistik, sebagian yang lain justru menggunakan pola pikir liberalistik. Hal ini bermuara pada banyaknya permasalahan yang kemudian menjadi sumber konflik antar dua kelompok pemikiran tersebut, salah satunya adalah sekularisme.

Sebenarnya banyak kerancuan seputar penggunaan kata “sekularisme” tersebut. Di antaranya, kerancuan tentang wacana sekularisme dan sekularisasi, menyusul kemudian beberapa pertanyaan mendasar berkaitan dengan tataran praktis sekularisme di beberapa negara, misalnya: Apakah sekularisme benar-benar bisa diterapkan sebagai idiologi suatu masyarakat atau negara? artinya dengan melihat prototype beberapa negara, benarkah mereka menerapkan paham sekularisme secara murni?. Untuk lebih memahami kerancuan dan pertanyaan di atas penulis ingin mencoba memaparkan lebih lanjut tentang wacana sekularisme dan sekularisasi, adakah perbedaan diantara keduanya? Dan apakah paham sekularisme menjadi paham yang realistis untuk diterapkan dalam negara?.

Sketsa Pengertian Sekularisme

Di dalam bukunya Abd Wahab al-Masiri, dikatakan bahwa sekularisme berasal dari bahasa latin, Seaculum, aeon atau Mundus. Yang pertama mengandung dimensi waktu, abad dan generasi. Sedangkan kedua mengandung dimensi ruang dan tempat. Dalam bahasa Arab, istilah ini mengalami beberapa “asal kata”. Kata “Almaniyyah” berasal dari tiga huruf yaitu ‘ain, lam dan mim. Jika kita merujuk pada kata aslinya maka Almaniyyah bisa memiliki dua cara baca yaitu “Almaniyyah”(dengan ‘ain fatha berarti alam) dan “Ilmaniyyah” (dengan ‘ain kasrah berarti ilmu). Cara baca yang berbeda ini menimbulkan arti yang berbeda pula. Almaniyyah (fatha áinya) artinya adalah pemisahan antara urusan dunia dan akhirat, negara dan agama (fashl al-din wa ad-daulah). Sedangkan Ilmaniyyah berarti usaha mensejajarkan antara agama dan ilmu pengetahuan. Walaupun demikian, ada sebagian pemikir arab yang tidak sependapat dengan adanya dua bacaan tersebut. Murad Wahab misalnya, ia hanya mengakui adanya bacaan ‘Almaniyyah bukan ‘Ilmaniyyah.

dalam sejarahnya, wacana sekularisme muncul pertama kali di barat pada abad pertengahan, ketika itu, agama (gereja) dikuasai oleh para pendeta yang memiliki kekuasaan absolut, sehingga kebijaksanaan apapun yang bertentangan dengan pendeta , dianggap bertentangan dengan agama (Tuhan). Penafsiran-penafsiran teks Injil dan Bible dimonopoli oleh mereka dan penafsiran di luar itu diaggap telah menyimpang. Tekanan-tekanan ideologis ini, tentunya berimplikasi negatif terhadap seluruh aspek kehidupan sosial, termasuk juga perkembangan ilmu pengetahuan.

Agama pada akhirnya menjadi penghalang bagi penemuan-penemuan ilmiah. beberapa ilmuan, diantaranya Galileo, harus mengakhiri hidupnya dengan naas di tiang gantungan, hanya karena ia berani mengemukakan teori yang bertentangan dengan Injil. Pengalaman Galileo dan beberapa rekannya menjadi salah satu sebab kemandegan total perkembangan ilmu dan logika pada abad pertengahan. Keadaan ini benar-benar meresahkan masyarakat, khususnya kaum intelektual. Pada akhirnya mereka terdorong untuk melakukan pembaharuan (al-ishlah ad-dini). Konsep yang diusung oleh para pembaharu tersebut adalah bagaimana membatasai kekuasaan gereja (pendeta) pada hal-hal yang bersifat religius saja, tidak pada hal-hal yang bersifat keduniawian (profan). Agama terbatas pada hal-hal yang berdimensi ritual saja, sedangkan urusan-urusan diluar itu, termasuk urusan kenegaraan, ditangani sendiri oleh masyarakat tanpa campur tangan agama ataupun pendeta. Salah satu slogan utama yang diteriakkan para pembaharu itu adalah: “Berikanlah hak Tuhan kepada Tuhan dan berikanlah hak kaisar kepada kaisar”. Adagium inilah yang selanjutnya menjelma menjadi sebuah ideologi yang akhirnya kita kenal dengan “sekularisme”.

Pergesaran Paradigma Faham Sekuler

Telah disinggung di atas bahwa sesuai dengan akar sejarahnya dipahami sebagai usaha pemisahan antara agama (akhirat) dan negara (dunia), “fashl al-din wa al-daulah”. Agama sebagai wilayah privat, tidak dapat dicampuradukkan dengan negara atau kekuasaan yang posisinya berada di wilayah publik. Dari makna ini, seakan-akan dunia hendak “dipisahranjangkan” dari agama, agama tidak berhak masuk ke dalam ruang-ruang publik yaitu ruang sosial, masyarakat, bangsa dan negara.

Sejak awal kelahirannya, islam merupakan agama yang diwahyukan dengan teks Al Quran yang dipahami sebagai kalam Tuhan dan karena bersifat suci. Nabi Muhammad saw, sebagai pengemban risalah islam dan kemudian para khalifah yang menggantikannya pada waktu berkecamuknya perang dan perluasan kerajaan islam, berfungsi sebagai kepala negara sekaligus pemimpin agama. Dalam beberapa kurun abad berikutnya dan hingga kini, sekalipun terjadi gelombang ke arah rasionalisme dan terbentuknya beragam negara-negara bangsa, namun bagi kebanyakan kaum muslimin kombinasi itu tetap menjadi idaman bentuk ideal pemerintahan. Maka islam tidak pernah mengenal pemisahan antara gereja dan negara. Suatu gagasan yang di dunia barat telah menentukan perkembangan politik dan sosial serta mengantarkan barat dari absolutisme menuju demokrasi.

Dalam kerangka ini, jelas bahwa agama kemudian kehilangan fungsinya sebagai salah satu unsur perubahan dan transformasi sosial. Agama yang menjadi sumber moralitas masyarakat tentu saja akan menyempit pada praktik-praktik ritual dan ibadah mahdah berhubungan dengan Tuhan saja tanpa bersinggungan dengan sesama manusia. Negara sekuler tentunya akan membentuk sumber daya manusia yang hanya saleh secara pribadi tapi tidak saleh secara sosial.

Dengan pengertian di atas, secara nyata kita ketahui bahwa konsep ini bertentangan dengan islam sebagai agama sosial dan kemanusiaan. Islam menginginkan balance antara kedua aspek, dunia dan akhirat, demikian pula, islam tidak mengenal konsep kekuasaan mutlak dan absolut para ulama. Perintah ketaatan termanifestasi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta para pemimpin. Perintah ketiga inipun diikuti dengan catatan bahwa masyarakat sebagai kontrol sosial, tidak wajib mentaatinya jika mereka menyimpang dari ketaatan Allah dan Rasul-Nya. Intinya, dalam islam, para penguasa tidak memiliki kedaulatan mutlak seperti yang terjadi pada kekuasaan kaum gerejawan (pendeta) pada abad pertengahan. Kondisi ini tentu saja berimplikasi positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan maupun perubahan sosial lainnya.

inilah beberapa alasan mengapa islam mengambil sikap konfrontasi dengan faham sekularisme -sesuai dengan pemahaman historis barat-. Lalu, apakah benar agama -baik islam maupun agama lainnya- yang mengandung unsur kemanusiaan dan sosial, menjadi sumber moralitas masyarakat dan mencakup seluruh aspek kehidupan, dapat begitu saja dipisahkan dari pemeluknya? Artinya, benarkah negara Turki misalnya, yang mengaku mempraktekkan paham sekularisme secara total dapat memisahkan urusan negara dari agama dan ajaran-ajarannya?.

Penulis sendiri berasumsi memperkuat argumen bahwa sampai saat ini, negara-negara sekuler itu tidak benar-benar bisa memisahkan agama dari negara secara mutlak. Misalnya, dalam bidang pendidikan, negara sekuler beranggapan bahwa pendidikan merupakan salah satu urusan negara, agama tidak boleh ikut campur, sampai-sampai mata pelajaran agama tidak dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal sebab itu dianggap sebagai tindak kriminal. Tetapi apakah dengan begitu, berarti agama dalam ajaran-ajarannya tidak mendukung pendidikan?

Pengalaman Turki dalam Praktik Sekularisasi

Menempatkan islam, religuisitas atau pola pemikiran ulama berhadap-hadapan dengan sekularisme atau pola pikir ilmuan rasanya kurang tepat, bahkan terlalu simplistik. Menempatkan posisi saling berhadap-hadapan, bagaikan air dan minyak yang sifat-sifat dasarnya memang sudah berbeda sejak semual. Padahal kalau dikaji secara mendalam, orang yang beragama, dalam hal ini adalah seorang muslim yang taat, saleh, yang memegang prinsip-prinsip dasar islam, membutuhkan pola berfikir ilmiah untuk dapat menjamin kelangsungan kehidupannya.

Pola pemikiran muslim tradisional yang lebih mengedepankan “kolektifitas” yang lebih mengedepankan pandangan batiniah dalam kehidupan keberagamaan berakibat pada lambannya daya penyerapan tata aturan pemikiran rasional dalam ilmu pengetahuan, serta kelambanan dalam mengambil langkah penyesuain dengan perubahan zaman yang bersendikan hukum-hukum positif rasional. Pola berfikir demikian secara langsung berhadapan dengan pola-pola pemikiran baru, yang memberikan kelonggaran kepada individu-individu untuk merebut kesempatan memahami aturan rasional dalam segala aspek kehidupan.

Pergumulan sengit antara dua jenis pola berfikir itu yang sebenarnya mewarnai seluruh perjalanan historis proses sekularisasi di negeri Turki yang berpenduduk 98% beragama islam. Pengalaman Turki dalam bidang sekularisasi sebenarnya bukan pada zaman Mustafa Kamal Ataturk. Sekularisasi dalam bidang politik dalam artian penataan kembali mekanisme pemerintahan dan proses birokratisasi, sudah berjalan sejak zaman daulah Usmaniah (Ottoman Empire) ketika Sultan Salim III (1789-1807) dan Mahmud II (1807-1839) memegang pemerintahan. Dengan langkah-langkah penataan seperti itu, maka konflik dengan para ulama -yang masih menghendaki sistem lama dalam perekrutan yang tanpa disertai kualifikasi pendidikan tertentu- tak terelakkan.

Dalam pergumulan pemikiran di Turki, satu hal yang perlu dipahami adalah bahwasanya ulama tidaklah identik dengan islam. Islam sebagai satu ajaran atau “guiding principle” sudah barang tentu dalam banyak hal berlainan dari ulama, pemangku ajaran tersebut yang secara tak terelakkan punya vested interest tertentu. Dalam melihat perkembangan sekularisme di Turki, penulis cenderung melihat “ulama” sebagai paradigma tatanan pola berfikir umat beragama yang oleh karenanya tidak ada yang dapat menjamin tidak timbulnya konflik antara pola berfikir satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Gerakan sekularisasi, dalam artian merombak tatanan pola berfikir tradisional ini, diteruskan pada periode Tanzimat (1839-1876). Perubahan pokok saat itu masih di seputar mekanisme sistem kekuasaan negara dan pola rekruitmen pegawai kerajaan yang dulunya direkrut dari keluaran madrasah (sekolah agama) dan beralih merekrut calon pegawai-pegawai baru yang terdidik dan terlatih dalam ilmu administrasi pemerintahan. Sekularisme dalam bidang ini sebenarnya sudah berjalan lebih awal, yakni dengan pendirian sekolah kedokteran (1827), Akademi militer (1834-1846). Berhubung ilmu-ilmu baru ini dari Eropa, maka negarawan kerajaan Usmaniah, Saffet Pasa (1814-1883) menekankan perlunya Turki menerapkan seluruh kebudayaan Eropa.

Meskipun proses sekularisasi dalam bidang pemerintahan, pendidikan militer, telah terjadi pada abad 19, tetapi tidak cukup memuaskan. ide-ide dasar pembaharuan tidak sepenuhnya diterima baik oleh penguasa, yang dalam hal ini adalah para sultan yang berkoraborasi dengan para ulama sehingga perjalanan perombakan struktur tatanan kehidupan sosial dan tata cara berfikir sangat lambat. Angin baru ilmu pengetahuan yang banyak menyentuh kehidupan duniawi tidak banyak menyentuh negarawan, ulama sebagai motivator, apalgi orang awam.

Menghadapai kenyataan yang semakin pahit, dimana orang-orang Eropa (Inggris, Prancis, Italy dan Yunani) sudah memasuki wilayah kerajaan Usmaniyah, Mustafa kamal Attaturk menyusun kekuatan dari daerah Anatolia untuk mengusir pendatang. Kerajaan Usmaniyah sudah tidak mampu lagi mempertahankan kekuasaan dan wilayahnya. Dalam kaitan ini, Mustafa kamal boleh dikata sebagai penyelamat integritas bangsa dan pembebasan wilayah Turki dari ancaman penjajahan bangsa Eropa.

Mustafa Kamal Attaturk tahu persis kemunduran bangsanya dan kelemahan sistem pemerintahan kesultanan setelah bergelimang dalam kemegahan dan kemewahan. Di atas puing-puing kelemahan rakyat, Attaturk mulai mendobrak tradisi dan tata pola berfikir umat islam Turki yang terasa sulit diajak menatap ke depan. Mesin sekularisasi mulai disulut dan tersebar dalam seluruh aspek kehidupan dan berlangsung hingga saat ini.

Deru roda modernisasi dan sekularisasi dalam pemerintahan, pendidikan, sosial-kemasyarakatan terasa bergemuruh dan cepat sekali. Perombakan menyeluruh sistem pemerintahan dari Theocratic Empire menjadi negara kebangsaan modern menjadi incaran utamanya. Ajaran-ajaran nasionalisme sekuler menggantikan “islam” dalam artian serapit “Theocratic Empire” tersebut. Suka atau tidak suka, rombakan yang bersifat maraton tersebut berjalan terus tahap demi tahap. Kesultanan dihapuskan pada tahun 1922, proklamasi republik 29 oktober 1923. pada tanggal 3 Maret 1924 beberapa undang-undang dikukuhkanoleh perlamen. Penghapusan khalifah, penyelenggaraan pendidikan nasionaldimonopoli pemerintah dan penutup segala madrasah. Administrasi wakaf dan urusan keagamaan dibawah direktorat keagamaan dibawahi langsung oleh perdana menteri. Bulan April 1924, peradilan agama dihapus. Pada tahun 1925, perkumpulan Tarekat (mistic) dibubarkan. Hukum Swiss diberlakukan tahun 1926.

Revolusi kebudayaan sekaligus sekularisasi ini berlangsung hingga wafatnya Mustafa kamal Attaturk tahun 1938. satu catatan penting yang cukup menarik perhatian para pengamat dari luar adalah bahwa dalam situasi revolusi kebudayaan seperti itu memang sudah terbina baik dan terinternalisir pada saat daulah Usmaniyah, atau rakyat cukup maklum tentang parahnya situasi dan menghendaki perubahan dalam segala bidang ataukah pengaruh mazhab Hanafi dalam mengatur tata hubungan antar rakyat dan pemimpin.

Sekularisme dan Sekularisasi

Sejak masuknya sekularisme ke dunia islam, baik melalui kolonialisme (isti’mariyah) maupuninteraksi budaya, dunia pemikiran islam hampir tak pernah tenang dan tentram> Polemik dan benturan pemikiran senantiasa mewarnai perjalanan peradaban islam. Hampir setiap negeri islam menyimpan sekurang-kurangnya dua kubu pemikiran: kubu islam dan kubu sekuler.

Kontroversi sekularisasi yang muncul dengan sangat populer, telah menimbulkan polimik besar yang cukup berkepanjangan di kalangan intelektual muslim. Akibat polemik tersebut, muncul dua kelompok dikotomis dengan sederetan tokoh intelektual pendukungnya. Kelompok pertama disebut kelompok konservatif, suatu kelompok yang menentang keras sekularisasi, yang dianggap identik dengan sekularisme. Kelompok kedua disebut dengan kelompok reformasi, suatu kelompok yang menolak sekularisme sebagai suatu faham tertutup yang anti agama. menurut kelompok reformasi ini, sekularisasi diartikan sebagai upaya pembebasan masyarakat dari kehidupan magis dan takhayyul dengan melakukan desakralisasi alam.

Di negara Arab, misalnya, di Mesir, perdebatan dalam bidang pemikiran terkadang sampai ke tingkat yang cukup serius. Dahulu, Ali Abdu Raziq, penulis kitab Al islam wa Ushul al hukm, ia diajukan ke sidang Dewan Guru Besar Al Azhar, karena karyanya yang menafikan peran politik Rasulullah saw. Ada pula yang di fasakh denga istrinya, seperti yang terjadi pada kasus Nasr Hamid Abu Zayd, bahkan ada yang mati tertembak, seperti yang menimpa Faraq Faudah.

Untuk melihat sekularisasi secara lebih dekat, perlu digunakan kacamata berlensa ganda, dalam arti tidak hanya melihat masalah ini dalam satu dimensi saja. Kita juga dituntut untuk melihat dalam skala makro secara arif dengan memperhatikan dimensi masa lampau dan masa kini tanpa mengabaikan faktor manusia baik sebagai individu, sosial, kultural maupun dalam relevansinya dengan sesuatu yang transendental. Untuk itu, perlu dicari akar historis dan perkembangannya antara barat dan timur agar dapat diketemukan makna sekularisasi dan sekularisme, sekaligus apa yang terkandung dalam pengertian tersebut serta relevansinya terhadap keyakinan keagamaan.

Selanjutnya, diskursus ini bukan dimaksudkan untuk meniadakan “tapal batas kerangka ideologis agama” hingga terjebak dalam ruang prefensi yang semu, dan juga bukan dimaksudkan untuk memihak salah satu tokoh atau pemikiran tertentu, melainkan justru melacaknya sampai sejauh mana kedalaman konsepsi mereka sekaligus faktor yang melatarbelakangi pemikiran tersebut. dengan demikian, dapat dilihat pokok permasalahannya dalam suatu kerangka yang utuh sehingga dapat membuka mata untuk melihat aspek yang menjadi sumber kontroversi.

Problematika islam dan sekularisme maupun sekularisasi dalam tradisi perkembangan pemikran modern dalam islam, baik di dunia internasional maupun di Indonesia cukup bervariasi di dalam cara menangkap makna sekularisme maupun sekularisasi. Adapun cara pandang para pemikir modern islam tersebut adalah:

Pertama: Ada yang beranggapan bahwa islam dan sekularisme merupakan dua entitas yang antagonistik, karena posisi islam kebalikan dari sekularisme. Yang berpandangan seperti ini, misalnya Muhammad Imarah. Dengan demikian, apabila negara-negara yang berpegang pada sekularisme dapat mencapai kemajuan, bukan berarti islam menjadi sebab suatu kemunduran. Hal ini merupakan dasar ijtihad penggunaan penalaran hukum secara independen untuk memberikan jawaban atas suatu masalah ketika Al Quran dan Sunnah tidak mampu memberikan jawaban yang tegas. Maka dalam islam, dan ini penting bagi manusia bahwa hukum sangat mungkin berubah dan berkembang untuk selalu diinterpretasi ulang seiring dengan perkembangan zaman dari masa ke masa.

Kedua: Muhammad Qutub, misalnya, beliau kembali menggunakan istilah sekularisme dalam bahasa Arab “Ilmaniyyah” sebagai tujuan pokok sekularisasi. Sekularisme cenderung diartikan adalah membangun struktur kehidupan tanpa dasar agama atau dalam terminologi bahasa Arab disebut “alla diniyah” (atheis). Pemikiran tentang perubahan, menurut Qutub bukanlah hal baru dalam islam. Kitab Tuhan abadi, Up to date, segala sesuatu tetap di dalamnya, namun meliputi aspek-aspek perubahan diantara celah-celah lembarannya, disinilah penting arti Ijtihad.

Ketiga: Mengkaji masalah sekularisasi secara holistik, dalam arti ingin menjembatani pemikir barat dan muslim, seperti yang disuarakan Muhammad Naguib al-Attas, menurutnya, islam tidak sama dengan kristen, karenanya, sekularisasi yang terjadi pada masyarakat kristen barat berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat muslim. Dengan jelas al-Attas membedakan antara pengertian sekuler yang mempunyai konotasi ruang dan waktu, yaitu menunjukkan pada pengertian masa kini atau dunia kini. Sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia dalam agama dan metafisika, atau terlepasnya manusia dari agama dan metafisika, atau terlepasnya dunia dari pengertian religius (dalam istilah Max Weber), pembebasan alam dari noda-noda keagamaan.

Selanjutnya menurut al-Attas, islam menolak penerapan apapun mengenai konsep-konsep sekuler, sekularisasi maupun sekularisme, karena semua itu tidak ada relevansinya dengan islam (adopsi barat) dan berlawanan dengannya dalam segala hal. Dengan kata lain, islam menolak secara total manifestasi dan arti sekularisasi baik eksplisit maupun implisit (al-kamin), sebab sekularisasi bagaikan racun yang bersifat mematikan terhadap keyakinan yang benar (iman).

Di kalangan pemikir islam di indonesia kontroversi tentang sekularisasi, juga masih terus menghangat, hal ini berakibat pada timbulnya dua kelompok dikotomis dengan para pendukung masing-masing. Pertama: kelompok konservatif yang menolak sekularisasi, yang dianggap terpisahkan dengan sekularisme. Kedua: Kelompok reformasi yang menolak sekularisme sebagai ideologi pemikiran , tetapi mendukung sekularisasi sebagai gerakan pembebasan umat beragama (liberating development). Lalu, dimana sebenarnya letak perbedaan sekularisme dan sekularisasi?

Nurcholish Madjid, misalnya, melihat sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme (ideologi), tetapi bentuk perkembangan yang membebaskan (liberating development) Proses pembebasan ini diperlukan umat islam karena akibat perjalanan agamanya, mereka tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islam itu, yakni mana yang transendental dan mana yang temporal. Oleh karena itu, sekularisasi menjadi suatu keharusan bagi umat islam.

Sesungguhnya ada perbedaan mendasar antara keduanya. Sekularisasi memiliki pengertian khusus, yang bahkan bertentangan dengan ide sekularisme. Sekularisasi menempatkan dirinya pada posisi pembebasan, yakni pembebasan umat islam dari kecenderungan-kecenderungan pola pikir mereka yang mengsakralkan hal-hal duniawi, dan disangka islami. Misalnya saja dalam konteks politik. Politik dan hal-hal yang berkaitan dengannya harus disikapi sebagai persoalan duniawi yang terus berubah dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Berbeda dengan ritual-ritual keagamaan, misalnya yang memang statis, tidak berubah sepanjang masa.

Jadi pemisahan dalam sekularisasi bukanlah pemisahan agama dan negara (non-agama), seperti yang menjadi acuan dasar pada sekularisme, tetapi sekularisasi merupakan pemisahan hal-hal yang bersifat dinamis dan sakral, dengan penyikapan keduanya secara proporsional.

Dalam islam sendiri, sumber-sumber ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, dan menjadi pedoman nilai-nilai universal, namun -dalam urusan-urusan duniawi yang dinamis- islam tidak mengatur secara mutlak, islam tetap membiarkan ummatnya berijtihad menentukan metodologi penerapannya, sebab, agama bukanlah dogma mati, akan tetapi harus bersifat lentur dan fleksibel sesuai dengan kondisi sosiologis maupun historis. Kelenturan ajaran islam ini dapat dibuktikan dari konsep nasikh wal mansukh pada Al Quran secara berangsur-angsur sebagai jawaban atas realitas yang ada saat itu.

Jika sekularisme berpautan dengan permasalahan ideologis, maka sekularisasi lebih bergandengan dengan makna modernisasi. Modernisasi yang menuntut adanya pola pikir dinamis, terus berkembang dan berubah menyesuaikan ruang dan waktu, menjadi keniscayaan seluruh masyarakat dunia tanpa terkecuali. Semua negara akan mengalami The Grand process of modernization, walaupun proses dan caranya berbeda pada setiap negara. maka dari itu, sekularisasi yang terjadi saat ini di dunia islam merupakan suatu peroses sosial yang tak terelakkan.

Epilog

Tidak dapat dipungkiri, dengan sekularisme Eropa berhasil mencapai kemajuan, tetapi fenomena-fenomena Eropa bukanlah menjadi standar utama (marji’iyyah al awwal) bagi kemajuan dunia islam. Karena itu, untuk keluar dari jeratan dan keterjebakan paham sekularisme maka cara pandang islam yang integralitik (as-syamila) terhadap isu-isu yang diusung oleh mereka dengan segera harus ditanggapi dengan kerangka metodologi-ilmiah nan teosentris. Ini sangat penting karena keterbelakangan umat islam disebabkan oleh cara pandang yang rigid, sempit, tekstual sekaligus merasa enjoy dengan kejayaan yang pernah diraih beberapa abad silam yang disebut banyak kalangan sebagai zaman keemasan (al ashr az-dzahaby).

Akibatnya, islam masa lalu dipahami sebagai blue print (cetak biru) yang serba paripurna dan kebenarannya menempati posisi paling tinggi. Doktrin islam senantiasa di puncak menara dan tak tertandingi (al islam ya’lu wala yu’la ‘alaih). Model kepemelukan seperti ini merupakan pemandangan yang dominan dalam masyarakat muslim.

Maka sekalai lah=gi, untuk menempatkan persoalan secara proporsional, yang harus diperhatikan adalah aspek sentral dari sekularisasi yaitu suatu proses yang antagonistik yang kemudian mengkristal menjadi sebuah ideologi. Karena itu, sekularisasi mempunyai makna yang beraneka ragam bahkan berlawanan, tergantung sudut pandang yang dipergunakan. Wallahu á’lam bissawab

Tidak ada komentar: